ASKEP KOMPREHENSIF II
PASIEN DENGAN DM TIPE 2
DENGAN AMPUTASI KAKI DAN DEBRIDEMENT
Dosen Pengampu : Siti
Fadilillah, S.Kep., Ns., MSN
OLEH :
KELOMPOK 4
DEKA SAPUTRA (12130057)
WINDA YUNIARTI (12130064)
NI WAYAN SURYANTINI (12130071)
RONI LAKSONO (12130073)
YOGA RADITYA (12130087)
KELAS A9.2
PROGRAM STUDI S1 ILMU
KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU
KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI
YOGYAKARTA
2016
KASUS
ASKEP KOMPREHENSIF
PASIEN DENGAN DM TIPE 2 DENGAN AMPUTASI KAKI DAN DEBRIDEMENT
Seorang
perempuan berusia 60 tahun dirawat diruang penyit dalam RS Sumber Waras dengan
keluhan luka di tuit kanan dan pergelangan kaki kanan sejak 2 minggu SMRS, luka
dirasakan semakin besar, bernanah dan berbau. Pasien mempunyai kebiasaan tidak
menggunakan alas kaki saat pasien bekerja dikebun. Pasien juga mengalami mual,
muntah dan nafsu makan menurun sejak 1 bulan SMRS. BB dirasakan semakin turun
(BB : 40 kg, TB : 160 cm). Pasien menyatakan mengidap kencing manis sejak 15
tahun SMRS, dengan pengobatan dan kontrol yang tidak teratur. Pasien menjalani operasi amputasi kaki kiri 3
hari setelah masuk RS. Keluhan yang dirasakan sekarang nyeri berdenyut pada
luka operasi, kondisi luka masih tampak basah, mengeluarkan seroma, jaringan
belum menyatu. Klien tampak murung, sering menyendiri, menolak komunikasi
dengan orang lain sering menutupi kakinya dengan selimut. Hasil laboratorium
menunjukan : GDS 222 mg/dL ; Alc 7,1 %. Terapi medis : ceftriaxone 2 gr/24 jam,
metronidazole 50 mg/8 jam, metformin 250 gr/8 jam, actrapid 3x4 IU.
Diskusikan
1. Buatlah
concep map pada kasus tersebut
2. Diagnosa
keperawatan apa saja yang bisa ditegakkan pada pasien
3. Tentukan
NOC sesuai prioritas diagnosa
4. Tentukan
NIC sesuai prioritas diagnosa
5. Edukasi
apa saja yang peru disampaikan kepada pasien
6. Bagaimana
perawatan berkelanjutan selama dirumah jika pasien sudah diperbolehkan pulang
Jawaban
:
1. Concept map (Terlampir)
2. Diagnosa
§ Nyeri
akut b.d agen cidera biologis
§ Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologis
§ Gangguan
citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh
§ Risiko
ketidakseimbangan glukosa darah
3. NOC
sesuai prioritas diagnosa :
a.
Nyeri akut b.d agen cidera
fisik
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri klien berkurang dengan
kriteria hasil :
1) Pain
control
· Menyatakan
timbulnya nyeri dari skala 1 ( tidak dilakukan ) menjadi skala 5 ( selalu
dilakukan )
· Menggunakan
langkah-langkah non-analgesik dari skala 1 ( tidak dilakukan ) menjadi skala 5
( selalu dilakukan)
· Menggunakan
analgesik sesuai yang di anjurkan dari skala 4 (sering dilakukan) menjadi skala
3 ( kadang-kadang dilakukan).
2) Pain
level
· Melaporkan
nyeri dari skala 1 (parah) menjadi skala 4 (ringan)
· Ekspresi
wajah menahan nyeri dari skala 1 (parah) menjadi 4 (ringan)
b.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh b.d factor biologis
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nutrisi klien meningkat dengan
kriteria hasil :
1) Nutritional
status
· Food
intake dari skala 1 (sangat menyimpang dari batas normal) menjadi skala 5
(tidak menyimpang dari skala normal.
· Fluid
intake dari skala 1 (sangat menyimpang dari batas normal) menjadi skala 5
(tidak menyimpang dari skala normal.
c.
Gangguan citra tubuh b.d
perubahan fungsi tubuh
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam gangguan citra tubuh klien
teratasi dengan kriteria hasil :
1) Body
image
· Gambaran
internal diri dari skala 1 (tidak pernah positif) menjadi skala 5 (tetap
positif)
· Kepuasan
dengan penampilan tubuh dari skala 1 (tidak pernah positif) menjadi skala 5
(tetap positif)
· Penyesuaian
dengan perubahan fungsi tubuh dari skala 1 (tidak pernah positif) menjadi skala
5 (tetap positif)
d. Risiko
ketidakstabilan kadar glukosa darah
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam glukosa darah klien teratasi
dengan kriteria hasil :
1) Blood
Glucose Level
· Glukosa
darah dari skala 1 (sangat menyimpang dari batas normal) menjadi skala 4
(menyimpang ringan dari batas normal)
4. NIC
sesuai prioritas diagnosa :
a. Nyeri
akut b.d agen cidera fisik
1) Pain
Management
· Lakukan
pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
· Observasi
reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
· Bantu
pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan.
· Kontrol
lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan.
· Ajarkan
tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/
dingin dan guided imaginary.
· Kolaborasi
pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri.
· Monitor
vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali.
b. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologis
1) Nutrition
Therapy
· Lakukan
penilian gizi
· Pantau
intake makanan/cairan dan hitung asupan kalori harian
· Pantau
kesesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan diet harian
· Kolaborasi
dengan ahli gizi, jumlah kalori, dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan gizi.
2) Nutritional
Monitoring
· Pantau
berat badan klien
· Monitor
turgor kulit pasien
· Monitor
untuk mual dan muntah klien
· Monitor
asupan kalori dan diet
c. Gangguan
citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh
1) Body
Image Enhancement
· Bantu
pasien untuk mendiskusikan perubahan yang disebabkan oleh penyekit atau operasi
· Bantu
pasien dalam mengidentifikasi bagian tubuhnya yang memiliki persepsi positif
terkait dengan mereka.
· Identifikasi
kelompok-kelompok pendukung yang tersedia untuk pasien.
d. Risiko
ketidakstabilan kadar glukosa darah
1) Hyperglycemia Management
· Monitor
level glukosa darah
· Pantau
tanda dan gejala hiperglikemia (poliurie, polidipsi, poliphagi, kelemahan,
kelesuan, rasa tidak enak, pandangan kabur, atau sakit kepala)
· Kolaborasi
pemberian insulin
· Dorong
pasien untuk memantau diri terhadap kadar glukosa darah
· Bantu
pasien untuk menafsirkan kadar glukosa darah
· Fasilitasi
kepatuhan terhadap diet dan latihan
5. Edukasi
yang peru disampaikan kepada pasien :
§ Menganjurkan
pola makan sehat dengan cara mengendalikan kadar glukosa dengan membatasi
asupan gula maupun makanan yang mengndung karbohidrat tinggi.
§ Memberikan
pengetahuan tentang pemantauan kadar glukosa secara mandiri
§ Memberikan
informasi kepada keluarga dan pasien tentang cara-cara terapi insulin dan cara
peberiannya dan menganjurkan agar mematuhi resep yang diberikan.
§ Menganjurkan
pasien untuk melakukan perawatan kaki secara berkala dan menggunakan alas kaki
saat berjalan.
§ Menganjurkan
klien untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada jika terjadi masalah
kesehatan.
§ Memotivasi
dan mendiskusikan perepsi pasien tentang citra tubuhya saat ini dan cara
meningkatkan fungsi bagian tubuh yang terganggu
§ Perencanaan
latihan, jelaskan dampak latihan dengan diabetik
§ Jelaskan
komplikasi yang mungkin muncul
6. Perawatan
berkelanjutan selama dirumah jika pasien sudah diperbolehkan pulang :
§ Anjurkan
klien untuk merawat luka post amputasi
§ Anjurkan
klien untuk melakukan perawatan kaki secara berkala
§ Menganjurkan
klien untuk menggunakan insulin secara teratur
Tinjauan Teori
Diabetes
Mellitus
A.
Definisi
Diabetes Mellitus adalah
sekelompok penyakit metabolic yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang di sebabkan oleh kecacatan pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya (American Diabetes Association (ADA)),
2009 dalam buku Smeltzer et al,
2010).
Diabetes Mellitus adalah
gangguan kesehatan yang berupa kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan
kadar gula darah akibat kekurangan insulin (Bustan, 2007).
Dapat disimpulkan bahwa
Diabetes Mellitus merupakan penyakit metabolik yang disebabkan oleh peningkatan
kadar glukosa dalam darah dan kurangnya insulin dan aksi insulin.
B.
Etiologi
Diabetes Mellitus (DM)
1.
Diabetes
Mellitus Tipe I
a.
Faktor
Genetik
Penderita DM tidak mewarisi
DM tipe 1 itu sendiri tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecendrungan
genetik kearah terjadinya DM tipe 1. Kecendrungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human
Leukocyte Antigen) .
b.
Faktor-faktor
Imunologi
Adanya respon autoimun yang
merupakan respons abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing. Yaitu autoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
c.
Faktor Lingkungan
Virus atau toksin dapat
memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta (Padila, 2012).
2.
Diabetes
Mellitus Tipe II
Mekanisme yang tepat
menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada DM tipe II
masih belum diketahui. Factor genetic memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin.
Berikut ini adalah
factor-faktor resiko DM tipe II :
a.
Usia (resistensi
insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65
tahun)
b.
Obesitas
c.
Riwayat keluarga (Padila, 2012).
3.
Diabetes Gestasional
a.
Metabolisme Glukosa pada Kehamilan
Janin menggunakan
glukosa aliran darah ibu pada kecepatan konstan. Pada wanita hamil mungkin
mengalami gejala hipoglikemia. Gula
darah satu jam pascaprandial meningkat setelah 20 minggu karena peningkatan
hormone tertentu yang bersifat antagonis terhadap insulin dan membuatnya kurang
efektif.
b.
Kebutuhan Insulin Berubah Selama Kehamilan
Terdapat peningkatan
kebutuhan insulin pada 20 minggu terakhir. Apabila pankreas ibu tidak
memproduksi insulin tambahan glukosa dari makanan yang ibu makan tidak dapat
digunakan oleh sel-sel ibu yang mengakibatkan hiperglikemia dan ketosis
(Morgan & Hamilton, 2009).
4.
Diabetes Mellitus Tipe Lain
a.
Penyakit pankreas yaitu pankreatitis, Ca pankreas, dll.
b.
Penyakit hormonal yaitu acromegali
yang menyerang sel-sel beta sehingga
hiperaktif dan rusak.
c.
Obat-obatan: aloxan, streptozokin yang menyebabkan sitotoksin terhadap sel-sel beta. Derivat Thiaxide yang menyebabkan menurunya sekresi insulin (Wijaya & Putri, 2013).
C.
Klasifikasi
Diabetes Mellitus (DM)
Menurut
Bustan, (2007) DM dibagi menjadi 4 jenis, yaitu :
1.
Diabetes
mellitus tipe 1 (Tipe I IDDM)
Disebabkan oleh gangguan sel Beta pancreas. DM tipe 1 berhubungan
dengan antibody berupa Islet Cell
Antibodies (ICA), Insulin
Autoantibodies (IAA), dan Glutamic
Acid Decarboxylase Antibodies (GADA). Pada DM tipe 1 terjadi destruksi sel Beta, ditandai dengan defisiensi insulin absolut. DM tipe 1 pada umumnya
terjadi pada usia muda, sel pembuat insulin
rusak, insulin absolut dibutuhkan
seumur hidup, mendadak, bukan penyakit turunan tetapi penyakit autoimun.
2.
Diabetes
mellitus tipe 2 (DDM)
DM tipe 2 merupakan dampak
dari gangguan sekresi insulin dan
resistensi terhadap kerja insulin yang sering kali disebabkan oleh obesitas (defisiensi insulin yang
relative). Pada DM tipe 2 terjadi karena faktor turunan, biasanya muncul pada
saat dewasa dan lebih sering terjadi daripada DM tipe 1.
3.
Diabetes
mellitus gestasional
DM gestasional muncul pada
saat ibu hamil muda, tapi akan normal setelah melahirkan persalinan. Pada DM
gestasional yang terjadi adalah risiko pada ibu bisa fatal dan pada janin bisa
menyebabkan cacat bawaan sampai meninggal. DM tipe ini memerlukan insulin (sementara waktu) dan berisiko
terkena DM di kemudian hari.
4.
Diabetes
mellitus tipe lain
DM tipe lain biasanya
ditandai dengan kekurangan kalori dan protein dalam jangka panjang, kurus,
insulin yang dibutuhkan absolut, faktor keturunan, infeksi, karena obat atau
zat kimiawi lain dan berkaitan dengan penyakit sistemik lain.
D.
Patofisiologi Diabetes Mellitus (DM)
Sebagian besar
gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama
akibat kurangnya insulin seperti
berkurangnya pemakain glukosa oleh
sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300-1200 mg/dl. Peningkatan mobiliasasi
lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai
dengan endapan kolesterol pada
dinding pembuluh darah dan akibat dari berkurangnya protein dalam jaringan
tubuh.
Pasien-pasien
yang mengalami defisiensi insulin
tidak dapat mempertahankan kadar glukosa
plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi
ambang ginjal (konsentrasi glukosa
darah sebesar 160-180 mg/100 ml) akan muncul glikusoria karena tubulus-tubulus
renali tidak dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini
akan menyebabkan diuresis osmotic
yang menyebabkan poliuri disertai
kehilangan sodium, klorida, potassium,
dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan muncul polidipsi.
Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien mengalami keseimbangan
protein negative dan berat badan
menurun serta pasien menjadi cepat lelah dan mengantuk yang disebabkan oleh
berkurangnya atau hilangnya protein
tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat
untuk energi.
Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis,
penebalan membrane basallis dan
perubahan pada saraf perifer.
Perubahan ini akan mempermudah terjadinya ganggren
pada pasien DM yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mepertahankan kadar glukosa yang normal atau toleransi glukosa sesudah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya parah dan melebihi ambang ginjal, maka akan muncul
glukosaria. Glukosa ini akan mengakibatkan diuresis
osmotic yang meningkatkan mengeluarkan kemih (polyuria) harus terstimulasi,
akibatnya pasien akan minum dalam jumlah banyak karena glukosa hilang bersama kemih, maka yang akan terjadi pasien akan
mengalami keseimbangan kalori
negative dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin berat (polifagia) muncul sebagai akibat dari
kehilangan kalori (Price & Willson,
2005 dalam buku Wijaya & Putri, 2013).
E.
Manifestasi
Klinis Diabetes Mellitus (DM)
Manifestasi klinis DM
tergantung dari tingkat hiperglikemia pasien.
Manifestasi klinis klasik dari semua jenis DM meliputi 3P (Poliuria, Polidipsia dan Polifagia). Poliuria (peningkatan buang air kecil) dan polidipsia
(haus meningkat) terjadi sebagai akibat
dari hilangnya kelebihan
cairan berhubungan dengan diuresis osmotik. Pasien
juga mengalami
polifagia (peningkatan
nafsu makan) yang dihasilkan dari keadaan katabolik yang
disebabkan oleh kekurangan insulin dan pemecahan
protein dan lemak.
Manifestasi
klinis lain termasuk kelelahan dan kelemahan, perubahan pandangan secara mendadak, kesemutan atau mati rasa di tangan atau kaki, kulit kering,
lesi kulit dan luka yang sulit untuk disembuhkan, dan infeksi berulang. Munculnya DM tipe
1 juga dikaitkan dengan tiba-tiba kehilangan berat badan atau mual, muntah atau
sakit perut bila DKA (Ketodiasidosis
Diabetik) ini terus berkembang (Smeltzer et al, 2010).
F.
Penatalaksanaan
Diabetes Mellitus (DM)
Tujuan utama terapi
DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin
dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi
vaskuler serta neuropatik. Penatalaksanaan DM didasarkan pada komponen-komponen
dibawah ini :
1.
Diet
Diet pada pasien DM berguna
untuk mengatur jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari.
Jumlah kalori yang disarankan bervariasi, tergantung pada kebutuhan apakah
untuk mempertahankan, menurunkan, atau
meningkatkan berat tubuh. Rencana diet harus berkonsultasi pada ahli
gizi yang terdaftar dan beerdasarkan pada riwayat pasien, makanan yang lebih
disukai, gaya hidup, latar belakang budaya, dan aktivitas fisik. Untuk mencegah
hiperglikemia postprandial dan glikosuria,
pasien DM tidak boleh makan karbohidrat berlebihan.
Umumnya karbohidrat merupakan 50% dari jumlah total kalori perhari yang dizinkan (Price & Willson, 2005).
2.
Latihan
Latihan fisik akan
mempermudah transport glukosa ke
dalam sel-sel dan meningkatkan
kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapat
suntikan insulin, tidak mampu untuk
memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa
selama latihan fisik dapat menimbulkan hipoglikemia.
Factor ini sangat penting khususnya ketika pasien melakukan latihan fisik saat
insulin telah mencapai kadar maksimal atau puncaknya. Dengan menyesuaikan waktu
pasien dalam melakukan latihan fisik, pasien mungkin dapat meningkatkan
pengontrolan kadar glukosa mereka
(Price & Willson, 2005).
3.
Pengobatan
Pada pasien DM tipe 2 dapat
mempertahankan kadar glukosa darah
normal hanya dengan menjalankan diet dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai
penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik
juga dianjurkan. Obat-obat yang digunakan adalah pensensitif (metformin dan tiazolidinedion)
insulin dan sulfonylurea. Metformin merupakan obat yang dapat menurunkan
prduksi glukosa pada usus, dan
meningkatkan kepekaan insulin,
khususnya di hati. Pemberian obat ini sebagai terapi insulin tunggal pertama dengan dosis 500-1700 mg/hari. Obat ini
tidak meningkatkan berat badan seperti insulin
sehingga bisa digunakan khususnya pasien DM dengan obesitas.
Tiazolidinedion dapat
meningkatkan kepekaan insulin perifer
dan menurunkan produksi glukosa hepatic.
Efek obat ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan proliferator peroksisom reseptor inti
yang mengaktifkan reseptor gamma
(PPAR-Gamma). Sulfonylurea berfungsi merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Obat ini tidak efektif
jika diberikan pada penderita DM tipe 1 yang telah kehilangan kemampuanya untuk
menyekresi insulin (Price &
Willson, 2005).
4.
Pendidikan
DM merupakan penyakit kronis yang memerlukan perilaku penangan
mandiri yang khusus seumur hidup. Diet dan latihan dapat mempengaruhi
pengendalian DM, maka pasien DM harus belajar untuk mengatur keseimbangan
berbagai faktor. Pasien DM bukan hanya harus belajar keterampilan merawat
diri-sendiri setiap hari guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang mendadak tetapi
juga harus memiliki perilaku preventif
dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi DM jangka panjang. (Semeltzer et al, 2010).
G.
Komplikasi
Diabetes Mellitus (DM)
Menurut Price & Wilson (2005) komplikasi DM
dibagi menjadi 2 kategori yaitu :
1.
Komplikasi
metabolik akut
Komplikasi metabolik DM disebabkan oleh perubahan
yang relative akut dan konsentrasi glukosa
plasma. Berikut komplikasi akut yang terjadi pada penderita DM :
a.
DKA (Ketodiasidosis Diabetik)
DKA biasanya terjadi pada
penderita DM tipe 1 dan menjadi komplikasi metabolic
yang paling serius. Apabila kadar insulin
sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia
dan glukosuria berat, penurunan lipogenensis, peningkatan lipolysis, dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai
pembentukan benda keton (asetoasetat,
hidroksibutirat, dan aseton).
Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hydrogen dan asidosis metabolic. Glukosuria
dan ketonuria yang jelas juga dapat
mengakibatkan diueresi osmotic dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi
hipotensi dan mengalami syok akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal.. DKA dapat
ditangani dengan memperbaiki kekacauan metabolic
akibat kekurangan insulin, memulihkan
keseimbangan air dan elektrolit dan
pengobatan keadaan yang mungkin mempercepat
ketosiadosis.
b.
Hiperglikemia, Hyperosmolar, Koma Nonketotik
(HHNK)
HHNK adalah komplikasi metabolic akut lain yang sering terjadi pada penderita DM tipe 2 yang lebih tua.
Hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600
mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, dieuretik osmotic, dan dehidrasi berat. Pada kasus ini pasien
bisa menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani.
Pengobatan HHNK adalah rehidrasi,
penggantian elektrolit, dan insulin regular. Perbedaan utama HHNK
dengan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.
c.
Hipoglikemia
Komplikasi metabolic lain yang sering terjadi pada
penderita DM adalah hipoglikemia
(reaksi insulin, syok insulin) terutama komplikasi terapi insulin. Gejala-gejala dari hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epineprin (berkeringat, gemetar, sakit
kepala, dan palpitasi) akibat
kekurangan glukosa dalam otak
(tingkah laku yang aneh, sensorium
yang tumpul, dan koma). Pasien DM dengan komplikasi hipoglikemia sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan kerusakan
otak yang permanen atau bahkan bisa menyebabkan kematian.
Penatalaksanaan hipoglikemia dengan pemberian karbohidrat baik oral maupun intravena.
Kadang-kadang diberikan glucagon,
suatu hormone glikogenolisis yang
diberikan secara intramuscular untuk
meningkatkan kadar glukosa darah. Hipoglikemia akibat pemberian insulin pada pasien DM dapat memicu
pelepasan hormone pelawan regulator (glucagon, epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) yang seringkali
meningkatkan kada glukosa dalam
kisaran hiperglikemia. Hipoglikemia dapat dicegah dengan
menurunkan dosis insulin untuk
menurunkan hiperglikemia.
2.
Komplikasi
metabolik kronis
Komplikasi jangka panjang
dari DM meliputi komplikasi vaskular
yang melibatkan pembuluh darah kecil (Mikrongiopati)
dan pembuluh darah sedang dan besar (Makrongiopati).
a.
Mikrongiopati
Mikrongiopati ditandai dengan
peningkatan penimbunan glikoprotein
dan senyawa kimia yang berasal dari glukosa.
Mikrongiopati menyerang pembuluh
darah kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik),
glumelurus ginjal (nefropati diabetik), dan saraf-saraf kapiler (neuropati diabetik) dan
otot-otot serta kulit.
Tanda dan gejala awal retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular
yang kecil) dari arteriola retina
yang mengakibatkan perdarahan, neovaskularisasi
dan jaringan parut dapat mengakibatkan kebutaan pada penderita DM. retinopai dapat di obati dengan
fotokoagulasi keseluruhan retina
dengan cara sinar laser difokuskan pada retina sehingga menghasilkan sekitar
1800 parut-parut korioretinal yang
ditempatkan pada katub posterior retina.
Manifestasi dini dari neuropati berupa proteinuria dan hipertensi.
Pada kasus ini apabila fungsi nefron menghilang
akan menyebabkan insufisiensi ginjal dan
uremia. Pada kasus ini pasien mungkin
memerlukan dialysis atau transpaltasi ginjal.
Neuropati
disebabkan oleh penimbunan sorbitol
dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang mengganggu kegiatan metabolic sel-sel schwan dan menyebabkan hilangnya akson. kecepatan konduksi motoric akan berkurang pada tahap dini
perjalanan neuropati, pasien biasanya
akan muncul rasa nyeri, parestesia,
berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik
dan gangguan motoric yang disertai hilangnya refleks-refleks dalam tendon. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf
perifer seperti mononeuropati dan
polineuroapati yang akan menyebabkan ulkus kaki diabetik karena distribusi tekanan abnormal pada neurapati. Pasien dengan neuropati
otonom diabetik dapat menderita infark
miokardial akut tanpa rasa nyeri.
b.
Makrongiopati
Makrongiopati
disebabkan oleh insufisiensi insulin yang
menyebabkan gangguan berupa penimbunan sorbitol
dalam intima vascular, hiperlipoproteinemia, kelainan pembekuan
darah dan menyebabkan penyumbatan vascular. Apabila mengenai arteri-arteri perifer maka
dapat mengakibatkan insufisiensi vascular
perifer yang disertai klaudikasio
intermiten dan ganggren pada ekstremitas
serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.
Daftar Pustaka
Smeltzer & Bare. (2010). Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta,
EGC
Herdman, T. Heather.
2015–2017. Diagnosis Keperawatan Definisi
dan Klasifikasi. Jakarta : EGC
Dochter, Joanne McCloskey
& Gloria M. Bulechek. 2008. Nursing
Intervention Classification (NIC) Fifth Edition. USA : Mosby, Inc
Moordead,
Sue [et al]. 2008. Nursing Outcomes
Classification (NOC) Fifth Edition. USA : Mosby, Inc
No comments:
Post a Comment